Pulang
Hari ini kau pulang
Dan yang kutanam,
semayam
Aku pun membalik lagi daun-daun
yang kala itu bersemi
di musim gugur
Yang kini sudah tersapu
Bagimu
Mungkin.
Hari ini kau pulang
Dan yang kutanam,
semayam
Aku pun membalik lagi daun-daun
yang kala itu bersemi
di musim gugur
Yang kini sudah tersapu
Bagimu
Mungkin.
Aku ingin meledak.
Aku ingin terbakar dalam gelap.
Aku ingin gila.
Aku ingin merasa.
Merasa yang bukan kamu.
Tolong.
----------------------------------------
Aku bosan dengan rasa ini;
rasa yang selalu menyela di baris-baris yang hampir tuntas
Di antara syair-syair yang tercekat di ujung lidah
Di tengah-tengah penawar yang lalu sesak dengan racun.
Yang selalu beriak lagi setiap dua angka mengimbasi peluh
meski jauh;
jauh;
j a u h
sekali.
----------------------------------------
(Walau telah jadi keyakinanku bahwa darimu tak ada acuh)
tapi tetap saja ada mohon yang tersirat: jangan takut.
Aku bukan iri.
Aku bukan sakit.
Aku hanya aku, yang luluh akan kamu.
Serapih mentari putih yang tadi malam sirna
Sesuci itu pula aku mendamba
Aku merasakan matanya menjagaku tidur
Mencuri masa yang menjelma mati
Seakan kebencian itu nyata dan sakti
Tidakkah kau merasakan?
Selangkah lagi aku di sini
habis sudah elok yang kusimpan
Sudah selayaknya aku meratakannya dengan arah
Senyap menjadi batin,
dari batin menjadi di kalkir
Serampangan aku mencura laut
Kudidik dia dengan manis dan buih
Meninggalkan bayangkan yang menjulang
Menguning dan memerah semuanya, segalanya
Seperti lelah telah diputuskan Bumi
Jawabmu menjadi tanya yang semata
bagai ranting-ranting yang dalam diamnya pun
aku mendengarnya bersuara
Kembalilah ke ruang peraduanmu
di mana kamu tumbuh selagi malu
Baginya yang menjalin sunyi di keraguan
Kamulah bualan suci berkisahkan angan
Untuk yang mencari wangi di kerah bajunya;
yang berhias sungai di ujung matanya;
dan yang menyulam lemas lipatan seribunya.
Lihatlah: Aku!
Kuceritakan tuhanmu kepada mereka
kekamuan yang menjunjung tanah
mengakar di batin dan
pedihnya kedap di hulu
Belakangan ini aku jadi saksi
para penyetir waktu memilih mundur
terhantui kelam sosok
yang matinya pun mungkin sudah lupa
Menghina tanpa berarah
Laju serapah menusuk tanpa tumpuan
Sejatinya
Hunianmu tidak kekal
Lepaslah!
Pasar malam jam 6 petang
hanya aku dan dia yang sibuk berfoya
dalam sepi yang bising
di kota yang asing
Lalu dia mengajakku berteriak lantang
kapan kami bisa kembali?
atau sekedar duduk sejenak
khawatir akan waktu
ikut-ikutan meracuni malam
hingga yang tertinggal hanya titik dan koma
Walau semua ini di dalam citra
tapi terjelma suasana
semesta pun mendua dengan rasa
yang aku pikir cuma sementara
Tahukah dia
bahwa aku menatap matanya
hanya untuk mencari surga?
Seperti hutan
yang di ketiadaan rimbunnya aku menengadah
Siapalah aku?
Cuma wujud kosong yang terantuk diam
Diharap menyilakan ilmu datang
untuk dilamuni sendirian
Lalu jauh di sana aku melihat surya
Merayakan tujuan
dan menjanjikan arah
Mungkinkah aku memetik satu sinarnya?
Selayaknya laut
yang di tiap ombaknya aku mendengarkan
Dia mengajakku tumbuh menjadi satu
Menjalin pasti dalam carut-marut yang ragu
Meski kadang jawabnya menjadi tanya yang semata dikenang
Sungguh, kilaunyalah yang menemukanku dengan terang
Semacam berkelana di ranah aksara;
yang di setiap komanya aku menanti
dan di tiap titiknya aku makin mencari
I would like to know
how many cigarette stubs you've flushed down the toilet
or if any of them ends up forgotten in your pocket
alarming your senses midst the day
burning through your blue denim jacket
or if the ashes leave a taste of yourself
lingering on with the Night and wakes me up
raising marks;
Would you like to know me by then?
© NEO-SERIFX. Powered by Blogger and Manifest. Converted by LiteThemes.com