3
Masanya salah
Rasanya salah
Dan tetap tak dibelenggunya dengan malu
Hanya pilu yang tak redup-redup
Kasihan
Masanya salah
Rasanya salah
Dan tetap tak dibelenggunya dengan malu
Hanya pilu yang tak redup-redup
Kasihan
Dear Mister Atomic Bomb,
My mind would start off slow but when I got on my feet again I'd begin shutting out the world and enjoy an evening tea with you.
We'd talk about things and jam to our favorite songs, ones we knew and ones we once knew.
I would say: "In a time like this, what everyone thinks to be interesting, I may find it stolid and dull. And sometimes I just hope that whatever there is to this world, I can do them with you. Listen: I just want to spend the rest of it being fucked up with you
and through you.
From the most bitter point of view I start to feel like I'm darling to no one.
You may not be the person I know the most, and you certainly are not the person I know the most. But we'll take care of that.
Remind me that I'm whole.
Remind me once again that I'm whole.
That I'm free."
aku Nol
yang dibentang langkahnya dari selatan jauh
berjejak hampa pun bualnya sungguh
tapi jika pagi nanti kita bersua
mungkin aku bertipu dan me-ncoba/lupa
aku Nol koma Empat
dia tahu aku tak kuasa berkilah
kenapa di akhirnya kian memerah?
tapi jika siang nanti kita berpapas
mungkin aku berbalik dan me-ncoba/mbebas
aku Nol koma Enam
antara kami ada noktah yang sisa
pikirnya aku dan dia sama sama gila
tapi jika sore nanti kamu berapi
mungkin aku dingin dan me-ncoba/nyisi
aku Satu
'bukankah itu si Kamu'
bisiknya melagu
aku ragu; lalu; kaku menderu;
tapi jika petang nanti aku-kamu bertemu
mungkin kita jadi baru dan tak (saling) memburu
semalam
ketika mata-mata surga singgah ke bentala
kamu menatap sayu meratap sendu
malu pada bujuk rayu prabu
apa yang dihindari hadir kembali
ke rengkuhan adipati
ditikam disayat sampai
dia susah berperi
kapan lawatnya ria?
Mau tahu sesuatu?
Menurut fisika, kamu itu belum tentu ada. Kamu itu tidak pasti. Kamu itu relatif.
Di mana kamu sekarang? Kamar? Ada apa di situ? Lemari? Kasur?
Coba keluar dari kamarmu. Apakah kamu yakin kalau kamu keluar, kasur dan lemarimu masih berada di tempatnya yang tadi? Apa? Kamu bilang 'kalau aku masuk lagi masih ada, tuh'? Bukan itu maksudku. Maksudku saat kamu di luar, benar-benar di luar, tidak mengintip, tidak menengok, tidak melirik, apa yang membuatmu yakin kasur dan lemarimu tetap berdiam di tempatnya? Tidak ada, kan? Jangan mengelak. Kamu tidak tahu jawabannya.
Sama dengan dirimu sendiri.
Kamu belum tentu ada.
Teman sekelasmu bisa saja meragukan keberadaanmu saat mereka pulang ke rumah selepas sekolah selesai. Bisa saja sedari tadi apa yang terjadi di sekolah hanyalah permainan kesadaran yang dibuat-buat oleh otaknya sendiri.
Atau otakmu.
Bisa saja seluruh hidupmu selama ini hanyalah sebuah proyeksi buatan dan murni imajinasimu sendiri.
Mungkin kadangkala saat kamu baru bangun dari mimpi yang terasa sangat aneh, kamu menertawakan mimpi anehmu itu. Dan ketika sampai di sekolah, kamu pun cepat-cepat menceritakan mimpimu tadi malam kepada teman-temanmu dan kembali menertawakannya.
Yakinkah kamu kalau itu hanyalah sebuah mimpi? Tidakkah ketika kamu bermimpi, dunia yang kamu sebut 'realitas' sekarang ini terasa maya? Siapa tahu mimpi itu kehidupanmu yang sebenarnya? Atau siapa tahu, kehidupan yang sebenar-benarnya itu tidak ada. Siapa tahu duniamu sekarang dan dunia mimpimu hanyalah dua dari berbagai versi alternatif dari proyeksi-proyeksi buatan otakmu. Siapa tahu.
Siapa tahu semua hal-hal membahagiakan yang kamu dapatkan selama ini hanyalah buatanmu sendiri. Tidak ada yang memberikannya untukmu, tidak ada yang perlu ucapan terimakasihmu, tidak ada yang perlu syukurmu.
Siapa tahu semua masalah-masalah yang muncul di hidupmu selama ini—semua kejadian-kejadian yang memalukan, menyedihkan, menyakitkan—hanyalah khayal gelapmu semata. Tidak ada yang perlu disesali, tidak ada yang peduli dengan kemarahanmu, tidak ada yang simpati akan sedihmu. Karena semua penderitaan dan nestapamu itu sejatinya hampa.
Siapa tahu kamu adalah tuhan pribadimu sendiri.
Saat kamu mati nanti, yakinkah kamu kalau kamu benar-benar mati? Benar-benar tiada? Benar-benar nol?
Mungkin saja (yang kamu kira) kematian itu hanyalah penghapusan akbar seluruh memori-memori dari (yang kamu kira) kehidupanmu selama ini. Lalu, otakmu akan mereka sebuah skenario kehidupan yang sama sekali baru, dan memori-memori lama tadi akan digantikan oleh memori-memori lain yang sama sekali baru. Dan setelah itu, kamu akan menjadi kamu yang berbeda dan lupa. Namun kamu yang (masih dan tetap) abu-abu.
Kamu yang mungkin ada.
Kamu yang mungkin tidak ada.
Kamu yang mungkin di antara.
Apa yang selama ini membuatmu sangat yakin kalau kamu itu ada? Siapa yang kamu pikir mengadakanmu? Siapa yang bisa menjamin adanya kamu?
Adakah kamu?
Apa? Kamu bertanya 'memang kamu sendiri nyata? memang kamu sendiri ada?'? Siapa bilang?
Bisa saja sedari tadi aku adalah kamu.
di sana menjawat sepi
menjadi saksi sebuah karya asusila
yang sejatinya merajut lenguh
tanpa tawa
tanpa cita
tapi fana
yang di dalamnya ada raksa yang menggelegak
walau di wadah yang belum tentu pasti
tapi seraga
dan sewarna
serasa
di mana wajah yang ini?
syukur nyatanya lawa
tapi ia meratus
laju meribu, menjuta
lalu menggila
nirwana yang katanya surgawi
dan bertirta suci
kujadi mata dan terlihatnya noda dan nista
ringkih berbeban dosa
tapi tabu menghadap manusia
Today, July 12, my middle school days end for real, like, the very clearest sense of ‘real’ anyone can come up with, because tomorrow is my (sorta like) first day of high school.
Yeay!/oh shit/gosh my nights of staying up late theyre gone/jesus i’m old/yeay!/time flies/did you see my socks?/this is great/this is not/yeay!/did you see my socks?
Three years of middle school sure don’t seem to stack up against those nine years in my former school, but the funfunfun (if not — just, anything, with some hint of fun) adolescent years started there so we can all agree that they’re worthy of being somewhat special, more special than the pathetic nine years.
And it finally has come to this: high school.
For some reason or other, it’s hard for me to accept that I’m really on this stage now, that in a few more years I won’t be studying at a school anymore, because school has always been the realm I’m in for the whole time of me being alive. It’s always there. The teachers are there. The classmates are there. Everything is there. Well not everything but you get my point. Most people say it’s a far cry from the real world.
Realising the creepiness in that statement, I (actually!!!) made a to-do list on things to do for the next three years, here it is:
1. Have fun. If possible, funner than the funnest funnest funnest fun I had ever done. (wrong grammar, not care nonono)
2. Study well. Not hard. Well.
3. Learning to do a proper smile. ‘Why? Nobody can’t smile.’ I’m no nobody. ‘But why?’ The skill is just not there.
4. Save money for future joy yeay :) :) :)
Such a short list of insignificance and undramaticness if that’s even a word.
Anyway.
Again, hugs full of thank-you’s are given to everyone for the last three years of greatness and un-greatness that ended up being a greatness compared to Disney Channel Asia.
xoxo!!! (as in Tic Tac Toe, I don’t kiss strangers)
footnote: If any of you somehow happens to be a friend later, hi, help me smile
© NEO-SERIFX. Powered by Blogger and Manifest. Converted by LiteThemes.com